Kamis, 04 Januari 2018

Tentang Sri Ningsih



Tidak ada kosa kata penderitaan dalam kamus seorang Sri Ningsih. Meskipun sejak lahir dia didekap erat oleh berbagai macam penderitaan. Seolah,  tidak layak dia mengumpati dunia hanya karena skenario hidupnya yang dianggap kelam. Dia tetap tegar, positif dan berusaha menyebar benih-benih manfaat kepada orang-orang di sekitarnya.

Lahir di pulau kecil di tenggara Sumbawa, Pulau Bungin, membuat hidupnya tidak mudah. Dilahirkan dari rahim seorang istri pelaut membuat dia tumbuh menjadi wanita yang harus kuat dan tahan banting. Suara tangisnya ketika menyapa dunia disahut suara tangis kerabat yang datang dalam resepsi kelahiran. Ibu Sri Ningsih meninggal saat melahirkannya. Saat itulah episode demi episode kemalangan dan penderitaan dimulai. Mulai dari Ayahnya meninggal ditelan gelombang, kemudian hidup bersama ibu tiri yang kejam sampai akhirnya dikirim oleh Tuan Guru Bajang ke pondok pesantren di Surakarta.

Di Surakarta dia sempat mengalami anti klimaks penderitaan karena bertemu Pak Kiai dan Bu Nyai yang baik hati, teman yang selalu mengerti, dan suasana pesantren yang menentramkan hati. Sampai saat hari tragis itu terjadi, di tahun 60an, sejarah pilu bangsa ini ikut dialami Sri bersama orang-orang di pesantren itu. Adik tirinya dikabarkan meninggal dalam kejadian tersebut.

Haru biru petualangan Sri Ningsih tidak berhenti di situ. Di ibu kota negara dia datang. Alih-alih membuang kegetiran hidup sebelumnya, Sri mengalami ups and downs yang cukup ekstrim selama di Jakarta. Sudah teruji dengan kusulitan dan keterbatasan membuatnya dengan mudah melewati dan menaklukkan kota metropolitan itu. Usahanya dengan cepat melesat. Dari kaki lima, rental mobil sampai mempunyai sebuah perusahaan berskala nasional. Sampai tiba saatnya dia mengambil keputusan yang cukup misterius. Dia pergi begitu saja meninggalkan aset besar perusahaannya.

London adalah kota tujuan berikutnya. Tampaknya Sri Ningsih ingin memulai dari nol. Pencarian pekerjaan yang panjang di the capital of the world itu akhirnya melabuhkannya sebagai sopir bus double decker di Kota London. Sampai dia bertemu dengan sahabat, rekan, dan bahkan keluarga baru yang sangat mencintainya. Pada akhirnya selalu begitu, julukan ibu tiri untuknya, si anak terkutuk, selalu membayangi dan mewarnai hidupnya.

Badai itu selalu saja berlalu, Sri bisa melupakan setiap kegetiran yang dialaminya. Dia memilih membuang memori kelamnya dengan pergi jauh. Dia meninggalkan London dengan segala kenanganya menuju ke Paris. Di kota ini Sri tutup usia dengan meninggalkan cerita yang membanggakan bagi para penghuni panti jompo yang pernah dihuninya sebelum meninggal. Dan di kota Menara Eiffel inilah dia menutup buku hidupnya tanpa catatan pilu.