Selasa, 27 Februari 2018

Oglangan

Oglangan (red: listrik padam) merupakan berkah tersendiri bagi anak-anak di kampungku dulu. Minimal kami bebas sebentar dari aktivitas rutin yang dinamakan belajar dan mengaji. Dengan alasan mati lampu, cahaya teplok redup sehingga kami berkesimpulan bahwa belajar dalam kondisi seperti itu bisa merusak mata. Saat itulah anak-anak dengan otomatis berhamburan keluar bak burung keluar dari kurungannya, lari-lari dan teriak-teriak nggak karuan. Beberapa hanya sekedar duduk bercengkrama di halaman rumah sambil membicarakan apa saja, yang lainnya memilih melakukan permainan fisik, salah satunya cik-cik bencik (hide and seek).

Bagi sebagian orang, mati lampu merupakan musibah karena pasti akan menggangu aktivitas dan pekerjaan rutin mereka. Tapi bagi sebagian yang lain bisa menjadi sarana muhasabah betapa nikmatnya cahaya. Kalo sudah dalam kegelapan begini, sebagus pakaian yang kita kenakan tak begitu istimewa, wajah-wajah yang rupawan juga tak jelas oleh mata, bisa jadi orang-orang menjadi saling mencurigai satu sama lain.

Nikmat cahaya yang dikaruniakan tidak hanya untuk mata kita, tapi juga hati kita. Bayangkan bila hati kita tetutup dari cahaya, pasti kerusakan, kebencian dan permusuhan akan semakin meraja lela. 

Maka, setiap kejadian sebaiknya jangan buru-buru diratapi, atau bahkan dikutuki. Jadilah seperti pepatah Inggris ini, it's better for us to light a candle than to curse the darkness (lebih baik menyalakan lilin daripada mengumpati kegelapan). Setiap kejadian, baik atau buruk, pasti mengandung ibrah yang bisa kita petik.


Inspirasi dari Timor

Kali ini kami harus belajar banyak pada remaja ini, namanya Rizky Ipolito Warudai. Dia jauh-jauh terbang dari Negara Timor Leste melintasi batas negara menuju Kota Solo untuk belajar.

Kali ini Rizky menceritakan keluarga besarnya di Timor Leste. Dia sangat terinspirasi dengan perjuangan kakek, Ibu dan bapaknya sebelum mereka menjadi orang yang berkecukupan. Kakeknya yang seorang tentara sangat tegas dalam membesarkan anak-anaknya. Selain itu juga mengajarkan ketangguhan dalam menghadapi hidup yang keras pada waktu itu. Oleh karena itu, dia mengakui bahwa keuletan dan ketangguhan orang tuanya adalah hasil didikan kakeknya sampai berhasil dalam membangun dan membesarkan bisnis mereka.

Dia dilahirkan dalam keadaan ekonomi keluarga yang sangat terbatas. Nama Rizky sendiri katanya diambil dari ungkapan syukur bapaknya kepada Allah karena mendapatkan gaji pertama saat kelahiran buah hati mereka. Rizky kecil menyaksikan sendiri bagaimana orang tuanya jatuh bangun membangun ekonomi keluarga, dari mencari pekerjaan, berjualan bakso dan usaha-usaha yang lain.

Hasil tidak akan berkhianat pada proses, kerja keras itu berbuah manis. Orang tuanya berangsur-angsur menapaki tangga kesuksesan sampai saat ini. Kini orang tuanya adalah pengusaha yang sukses di bidang infrastruktur komunikasi dan perjalanan. Dan bapaknya adalah pemilik salah satu klub sepak bola liga utama di Negaranya.

Dia berharap bisa mengikut jejak kakek dan kedua orangtuanya menjadi sosok yang mandiri, tangguh, pekerja keras dan visioner.

FYI, Rizky sendiri tidak tahu bahwa negaranya dulu adalah bagian dari Indonesia walaupun jarak antara referendum dengan tahun kelahirannya tidak berpaut jauh.

#mentoringleadership
#smpialabidin