Selasa, 28 November 2017

Brad

Ada seorang polisi lalu lintas, sebut saja Brad, setiap pagi dan siang bertugas menyebrangkan rombongan siswa yang berangkat dan pulang belajar di sekolah. Sesekali dia mengajak anak-anak itu ngobrol. Pembicaraan mereka terlihat asyik, menarik dan sepertinya bermakna bagi anak-anak. Beberapa kolega polisi selalu menggoda Brad untuk jadi guru saja, mereka bilang dia sangat cocok bekerja dengan anak-anak dan anak-anakpun juga senang ketika bertemu dengannya. Hari berganti hari selalu dan selalu begitu, sampai pada akhirnya dia rela melepaskan statusnya sebagai seorang opsir polisi.

Dia memulai pekerjaan mengajarnya di sebuah sekolah dasar. Kebetulan di tahun pertamanya, dia diamanahi sebagai guru kelas 5 sampai beberapa tahun. Karena keputusan menjadi guru adalah bagian dari perenungan dan tekadnya yang bulat, tentunya pekerjaan itu dia lakukan dengan sepenuh hati.

Brad sangat dicintai murid-muridnya. Karena mengajarnya dengan sepenuh hati, murid-muridnya pun belajar juga dengan sepenuh hati pula. Mereka berangkat sekolah dengan senang hati, pulang dengan berat hati.Semakin lama menekuni profesi  semakin membuat hatinya melekat pada pendidikan.

Menimbang kebutuhan akan stok guru profesional di kotanya, sebuah universitas ternama memutuskan untuk membuka fakultas pedagogik. Pimpinan universitas  menunjuk Brad sebagai Dekan di fakultas itu karena rekam jejak sebagai guru yang bisa dikatakan paling berhasil di kotanya. Enam tahun berhasil membangun institusi pencetak guru di kotanya, akhirnya Brad memutuskan resign untuk kembali sebagai guru sekolah dasar dimana dulu ia mengawali karir mengajarnya.

Sejak saat itu, Brad kembali ke flat sederhananya dari rumah dinas yang cukup mewah dan tanpa sopir pribadi. Kembali mengawali harinya dengan jalan kaki ke sekolah, sesekali bebarengan dengan anak-anak di jalan sambil bercanda dan berbagi makanan, disambut dengan lambaian tangan, membenarkan tali sepatu dan lipatan baju murid-muridnya dan setiap detik dalam hidupnya membersamai manusia-manusia masa depan, anak-anak. Momen-momen Indah itu tidak akan ditemui dalam pekerjaan selain guru.

Saat ditanya dalam sebuah talkshow, Ia dengan bangga mengatakan, "tidak ada yang lebih Indah dari pada menjadi seorang guru".
.
.
Cerita sederhana yang harus semakin menguatkan kita pada pekerjaan mulia ini.

Arif Hidayat

Jumat, 24 November 2017

Soto Daging Kerbau dan Diplomasi Para Wali

Selain dikenal karena rokok kreteknya, Kudus juga terkenal dengan kuliner khasnya. Bagi yang pernah ke Kudus pasti tidak melewatkan kuliner khas kota wali ini, masakan daging kerbo (red: kerbau). 

Hari ini setelah beberapa tahun tidak singgah di sini, datang pagi saya langsung menuju pusat kuliner nomor. wahid di Kudus, Taman Bojana Pujasera. Di tengah bangunan yang berkios-kios itu, kita bisa menemukan beberapa los kios yang menjual menu istimewa berupa soto dan pindang daging kerbau. Kami langsung singgah dan memesan beberapa mangkok soto di kios Bapak Ramidjan. 

Sekilas tidak ada yang beda dengan soto pada umumnya, tapi racikan menggunakan daging kerbau memang terasa spesial bagi kami.

Mengetahui kami sebagai pendatang, penjual melayani sambil bercerita tentang asal usul kenapa daging kerbau lebih menjadi primadona dibanding dengan daging sapi atau yang lainnya. 

Bak seorang sejarawan, dia bercerita saat salah satu wali sanga, Maulana Ja'far Shadiq a.k.a Sunan Kudus, datang di daerah ini untuk mendakwahkan islam. Melihat kondisi masyarakat yang masih kental dengan mistisisme dan ritual hindu, Sunan Kudus tidak secara vis a vis mempertentangkan agama Islam yang ingin beliau dakwahkan dengan kepercayaan mayoritas masyarakat. Akan tetapi, sang wali menempuh beberapa pendekatan atau diplomasi sehingga ajakan-ajakan beliau bisa diterima secara gradual oleh orang sekitar, sehingga muncul sebuah pendekatan dengan istilah akulturasi kebudayaan pada waktu itu. 

Akulturasi sendiri bermakna mencampurkan dua budaya atau lebih (red. Islam dan Hindu). Dua contoh yang sangat nampak adalah mepertahankan arsitektur hindu dalam pembuatan masjid dan tidak menyembelih sapi sebagai hewan yang dianggap suci menurut kepercayaan masyarakat setempat pada waktu itu. 

Hasil pendekatan dan konsep diplomasi para wali tersebut sangat nampak keberhasilannya. Satu demi satu masyarakat waktu itu masuk Islam dan bahkan sekarang Kudus adalah kota santri dengan penduduk mayoritas muslim. Sehingga, hingga saat ini Masjid Menara Kudus dan masakan daging kerbau begitu ikonik di kota ini.