Senin, 27 Agustus 2018

K-13

Ini kali kedua saya mengikuti Bimtek K-13 setelah dulu awal tahun 2014 sempat mengikutinya. K-13 awalnya digagas, dipersiapkan dan dimulai oleh menteri sebelumnya kemudian dihentikan perluasan implementasinya oleh menteri yang baru. Salah satu dalih penghentian itu karena belum siapnya daya dukung SDM (guru) dalam menerima perubahan. 

Sekarangpun masih berdengung bahwa K-13 adalah kurikulum yang cukup berat dan merepotkan bagi sebagian guru. Dari perangkat perencanaan hingga penilaian pembelajaran dinilai membebani kerja sebagian guru yang harus berfikir dan bekerja dua kali. Belum lagi proses pembelajaran yang akan mengubah paradigma pendekatan mengajar guru dihadapan siswa secara signifikan. Dan yang paling hangat adalah masalah pemberlakukan Higher Order Thinking Skills (HOTS) yang dianggap malapetaka oleh beberapa siswa saat UNBK kemarin. 

Jika kita berpikir positif, K-13 mempunyai tujuan yang visioner, terutama dalam menyiapkan generasi emas 2045. Saat itu bangsa kita memiliki bonus demografi yang melimpah. Dan mesin pencetak kader bangsa itu adalah kurikulum pendidikan yang tepat dengan kebutuhan masa depan mereka. Apalagi revisi terakhir kurikulum ini menitikberatkan pada solusi atas masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita saat ini. 

Masalah output pembelajaran, kompetensi holistik, penguatan karakter dan budaya literasi adalah fokus implementasi K-13 yang tahun ini diberlakukan di seluruh sekolah di Indonesia. 

Coba kita hindari dugaan-dugaan yang justru melemahkan seperti "ganti menteri ganti kurikulum, kurikulum baru proyek baru" dan sejenisnya. Saatnya kita melihat ke depan, bahwa anak-anak didik kita butuh sentuhan, perlakuan dan perhatian untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.

#kurikulum2013

Minggu, 26 Agustus 2018

Waktu Luang Kita Hari Ini

Saya pernah dengar kalo sekolah itu berasal dari kata 'skule' yang artinya waktu luang. Waktu luang itu tentunya waktu yang tidak mengikat kita pada tugas, tanggung jawab dan kaidah tertentu. Ya artinya, sesuka kita mau ngapain asal bernilai tambah dan tidak merugikan orang lain. Dan tentunya ini bisa dilakukan kapan dan dimana saja. 

Di sekolah formal kita mengenal mekanisme dan prosedur khusus untuk mencapai tujuan bersama-sama. Di luar sekolah (hari libur) seharusnya bisa demikian. Karena tujuan pendidikan utamanya tidak hanya bertambah ilmu, tapi juga harus bertambahnya kebahagiaan dan kesadaran akan tugas dan kewajiban kita sebagai insan yang berakal. Menikmati alam salah satunya.  

Semakin sering kita ajak anak menikmati alam, saya percaya mereka akan memiliki kepedulian akan setiap ciptaan Allah. Sifatnya yang alami membuat alam bisa menyatu pada fitrah manusia, yaitu kebahagian. Siapapun akan bahagia menyaksikan alam yang asri, sejuk dan alami. 

Dan inilah waktu luang (sekolah) kita hari ini sembari kondangan. Menikmati alam asri dan bermain air di Desa Cumpleng, Ngargoyoso. Desa yang terletak di kaki Gunung Lawu ini tidak hanya menyajikan alam yang asri dan alami tapi juga hasil bumi yang melimpah.

Selasa, 21 Agustus 2018

Bejo

Sewaktu sekolah dulu saya punya teman, sebut saja Bejo (bukan nama sebenarnya). Di kalangan teman-teman dan guru, Bejo orangnya terkenal 'entengan', 'grapyak' dan murah hati. Saking murah hatinya, dia rela setiap hari dijadikan bahan candaan, dikerjai sampai 'digasaki' (dirundung). 

Tidak hanya di sekolah, di antara teman main di kampung, dia terkenal orang yang baik dan 'enthengan'. Dari urusan manjat pohon mangga, motong bambu, atau urusan-urusan yang melibatkan fisik lainnya dia selalu berada di depan. 

Viralnya nama Joni, anak pemanjat tiang bendera dari NTT, menggiring pikiranku ke masa lalu. Siapa lagi kalau bukan Bejo, si bocah enthengan itu, yang sering terlibat adegan yang sama yaitu memanjat tiang bendera. Bahkan aksinya tidak hanya terhitung sekali, tetapi berkali-kali terekam ingatan saya. Seusai menunaikan aksinya, Bejo tidak pernah mendapat apresiasi sekedar tepuk tangan atau jabat tangan dari kepala sekolah apalagi sampai dipanggil ke istana presiden. 

Tidak ada amal yang tak tercatat. Di tahun-tahun berikutnya Bejo sering dinaungi keberuntungan demi keberuntungan. Sekolahnya juga lancar meski tidak begitu gemilang. Setelah lulus mendapat pekerjaan juga baik dan menghasilkan. Bahkan setelah memutuskan berwirausaha juga mendapatkan banyak limpahan keuntungan. 

Bejo telah menabung kebaikan di masa lalunya. Kerja keras, pengabdian dan kemurahan hatinya sudah terbayar dengan hasil yang dia nikmati hari ini. Membuat orang bahagia tidak ada ruginya, membenci perbuatan buruk orang lain tidak ada untungnya. Itulah pelajaran hidup yang sangat berharga dari seorang Bejo.

Minggu, 19 Agustus 2018

Silih Berganti

Kita sekarang ini menggantikan posisi orang-orang terdahulu. Dalam keluarga, kita sebagai ayah atau ibu menggantikan posisi ayah dan ibu kita terdahulu. Begitupun dalam pekerjaan, jabatan, tempat tinggal, atau urusan hidup yang lain, kita hanya menggantikan peran orang-orang terdahulu

Selain menggantikan, kita esok atau nanti juga akan digantikan. Status, peran dan pekerjaan kita akan digantikan oleh generasi sebelum kita dan begitu seterusnya. Tentu saja kita pasti berganti peran. Baik atau buruk tergantung diri kita masing-masing. Kemarin kita jadi anak dan sekarang tiba-tiba sudah jadi bapak. Baru kemarin kita jadi siswa, sekarang tau-tau sudah jadi guru. Peran baru menimbulkan konsekuensi baru. Berhasil dengannya atau sebaliknya akan teruji oleh kemauan untuk belajar dan berusaha. 

Pastinya juga kita akan meninggalkan status dan peran kita. Apakah rela status dan peran kita digantikan oleh mereka yang sama dengan kita atau bahkan lebih buruk? tentu tidak. Itulah fungsi pendidikan (formal, informal maupun nonformal). Mencetak kader pengganti yang lebih unggul sehingga urusan-urusan dunia yang semakin rumit ini bisa teratasi dan berjalan baik. Makanya, silih berganti itu pasti. Terima saja dan lakukan yang terbaik untuknya.

#refleksi

Mereka Orang-orang Ikhlas

Kabar itu sudah terdengar di setiap sudut kampung. Kabar tentang kedatangan tentara penjajah di kota kecil yang selama ini relatif aman dari peperangan. Warga mulai panik. Hari-hari mereka disibukkan dengan upaya mengamankan harta yang rata-rata berupa hewan ternak dan hasil panen. Para tentara pejuang turun ke kampung-kampung menenangkan warga dan memberi mereka panduan tetang harus bagaimana saat pertempuran benar-benar terjadi. 

Para tentara pejuang tidak boleh panik. Mereka sudah mendengar kabar itu jauh hari dari telik sandi mereka di perbatasan. Mereka juga sudah siap menghadang penjajah dengan sumber daya yang ada. 

Ternyata kabar itu benar, tentara penjajah dengan kendaraan perang dan senjata lengkap mulai menyentuh perbatasan kota. Sebelum merangsek masuk ke kampung-kampung, kedatangan mereka sudah disambut satu kompi tentara pejuang. Perangpun mulai pecah dari perbatasan. Ternyata Belanda terlalu digdaya untuk dihadang, mereka terus merangsek masuk sampai tengah kota. 

Perlawanan semakin sengit. Desingan peluru bersahutan diperjualbelikan oleh kedua kubu. Asap hitam mengepul tinggi, beberapa bangunan runtuh dan bau anyir darah sudah mulai menggangu hidung. Tentara pejuang mulai kewalahan. Kondisi mereka sudah tidak teratur. Ada yang terus maju melancarkan serangan, ada yang mundur ke kampung-kampung dan ada yang sibuk mengevakuasi para pejuang yang terluka. 

Dalam situasi ini mulai banyak yang berguguran, baik dari kubu musuh maupun kebanyakan dari tentara pejuang. Tentara penjajah semakin jumawa. Mereka merasa di atas angin. Kota penting ini akan segera takluk di tangan mereka. kampung-kampung sudah mulai ditinggalkan warganya. Sunyi lengang tanpa suara yang berarti.  

Saat pasukan musuh semakin masuk menyisir di setiap sudut kampung, tiba-tiba dentuman meriam terdengar dari empat arah mata angin. Tentara penjajahpun mulai berpencar mencari perlindungan. Sedetik setelahnya, tentara pejuang bersama warga menyergap dari segala arah dengan senjata seadanya dalam genggaman mereka. Pekik merdeka dan takbir tak henti-henti menyeruak di setiap telinga. Mereka tak peduli dengan peluru yang akan menembus dada dan memecahkan batok kepala. Tanpa gentar, terus maju dan menyerang dengan segala usaha. Saat itu, tidak ada kata aku bagi warga, yang ada hanyalah kita dan anak cucu mereka. 

Akhirnya, usaha mereka mulai nampak. Banyak tentara penjajah yang berguguran. Sebagian sisanya mulai mundur tunggang langgang. Tentara penjajahpun mulai tewas satu persatu dan akhirnya kalah. 

Perjuangan mereka dicatat, dikenang dan diabadikan dalam monumen sejarah. Sejarah yang tidak mengenal kata aku untuk diri dan keluarga mereka, yang tidak mengenal ego untuk egoisme kepentingan diri mereka dan bahkan tidak mengenal masa depan diri mereka sendiri. Perjuangan ini untuk kita; anak, cucu, cicit dan keturunan mereka agar merasakan udara kemerdekaan.

#perjuangankemerdekaan #republikindonesia

Jumat, 10 Agustus 2018

Obrolan ala Wedangan

Wedangan atau angkringan adalah sebuah kearifan lokal. Ciri khas yang ditampilkan sangat identik dengan lokalitas masyarakat kita. rata-rata didirikan non permanen, atap tenda dan hidangan yang disajikan cukup sederhana sekaligus murah meriah. Hanya bermodal 10.000 saja kita bisa minum, makan plus lauk yang rata-rata gorengan dan jeroan serta bisa berjam-jam ngobrol seputar apa saja. 

Yang selalu menarik adalah tajuk pembicaraan yang dibawa. Para wedangers sangat konsisten dan fokus berjam-jam membahas tema tertentu. Tema bisa apa saja, mulai dari pengalaman hidup, pekerjaan, lingkungan bahkan tentang agama dan politik. Yang sedang ramai dibicarakan adalah tentang pilpres 2019. Mereka sangat piawai mengupas setiap kandidat, mengungkap setiap kekurangan dan kelebihan mereka, dan dengan analisa sekenanya mencoba menjatuhkan yang satu dan meninggikan yang lainnya. 

Suasana sepertinya mulai memanas seiring teh hangat yang menjadi dingin. Ada salah seorang yang menyanggah yang lainnya. Ada yang jadi penengah dan coba masuk ke tema lain. Tapi hasilnya ya semakin sama-sama tidak mengenakkan. Meski begitu akhirnya mereda juga. Setelah ganti tema sepertinya kurang menarik, akupun bergegas pergi. 

Yah, semoga budaya politik kita membaik, masyarakat makin sejahtera, ketimpangan mengecil, dan yang jelas harus mengangkat harkat dan martabat kemanusian kita menjadi lebih baik. 

#wedangansolo #debatkusir #politikindonesia

Rabu, 08 Agustus 2018

Mewaspadai Zona Nyaman

Mentoring leadership kali ini saya buka dengan mengajukan studi kasus ringan. 

Dua desa masing-masing dialiri oleh dua sungai yang berbeda. Desa A terhampar di sepanjang sungai dengan karakter air yang stabil, berkecukupan dan bersahabat. Sebaliknya, desa B terletak di pinggiran sungai yang sangat labil. Sungai desa B cukup ekstrim kondisi airnya. Disaat musim hujan air yang datang berlebihan, bahkan hampir pasti meluapkan air ke perkampungan. Sedangkan disaat musim kemarau panjang kering kerontang. 

Setelah diuji dengan kondisi yang sama sekali berbeda tersebut, desa mana yang peradabannya lebih maju 100 tahun kemudian? 

Spontanitas banyak yang menjawab desa A yang akan lebih maju. Mereka beranggapan bahwa kecukupan dan kenyamananlah akan membuat mereka berhasil. Ada juga beberapa yang memberi jawaban desa B meski belum bisa memberi alasan yang tepat. 

Orang-orang desa A dan B berangkat dari kondisi yang sama saat mereka harus memutuskan di pinggir sungai yang mana mereka akan tinggal. Sampai saat waktu membuktikan bahwa warga desa B lebih dinamis dalam berfikir dan berinovasi. Kondisi air sungai yang labil itulah yang mendorong mereka terus mencari cara agar tidak kebanjiran saat musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau. Mereka berupaya berkali-kali secara turun temurun membangun teknologi dan bekerja keras dalam mewujudkannya. tepat di keturunan yang ketiga (100 tahun kemudian) desa B sudah tidak lagi punya masalah banjir maupun kekeringan. Bahkan, mereka berhasil mengembangkan teknologi pertanian, perikanan dan transportasi jauh lebih maju dibandingkan desa A yang memulainya dari kondisi nyaman. 

Dari kasus di atas, bukan berarti anak yang dalam kondisi nyaman dan berkecukupan itu lebih susah berkembang. Hanya saja jangan sampai kenyamanan itu melenakan dan melalaikan mereka dalam belajar dan berusaha untuk masa depan. Kera yang tidur di pohon saat angin sepoi-sepoi lebih rentan jatuh dari pada kera yang tidur di tengah terpaan badai. Dengan kenyaman dan kecukupan mestinya lebih membuka peluang untuk banyak belajar dan mengembangkan diri untuk bekal masa depan. 


#mentoringleadership

#smpislamalabidin 

#fulldayandboardingschool

Selasa, 07 Agustus 2018

Tawakal Sekaligus Ikhtiar


Menceritakan kejadian lama kepada generasi baru. Yaitu cerita heroik selamatnya pesawat yang mendarat darurat di Sungai Bengawan Solo, tepatnya di Juwiring, Klaten di awal tahun 2000an. Kapten Abdul Majid sebagai Pilot pesawat penumpang menginspirasi banyak orang pasca kejadian tersebut.
Di udara ketika mesin mati kira-kira apa yang akan dilakukan oleh seorang pilot dan para krunya?, apakah mereka akan pasrah, meratapi nasib, atau mencari selamat sendiri?. Tentu tidak. Profesionalisme mereka dituntut untuk mendahulukan keselamatan penumpang dari pada diri mereka sendiri.
Sang kapten mengajarkan optimisme karena ada Allah yang akan memberikan pertolongan. Tawakalnya berlanjut pada sebuah ikhtiar yang luar biasa. Semua kru pesawat diyakinkan bahwa mereka harus tenang, berdoa dan berusaha. Sekecil apapun peluang selamat, mereka harus tetap optimis dengan usaha dan berserah diri kepada Sang Pemberi Kehidupan. Akhirnya pesawat bisa mendarat dengan semua penumpangnya selamat.
Sang kapten dalam kejadian itu memerankan dua tugas pokok dan fungsi manusia sekaligus, yaitu sebagai abdullah dan khalifah. Sebagai hamba Allah tidak ada yang lebih utama dari beribadah dan bertawakal. Dan dengan akalnya dia berusaha untuk mencari solusi atas masalah-masalah manusia.


Dewats

Masyarakat kota adalah penghasil sampah, limbah dan polusi. Bahkan energi bumi dikonsumsi 90% lebih oleh warga kota melalui aktivitas-aktivitas rumah tangga, pekerjaan, pelayanan, maupun transportasi. Kontribusi warga kota untuk pemanasan global adalah yang paling dominan.
Untungnya sudah banyak yang sadar akan pentingnya mengurangi resiko pencemaran lingkungan. Salah satunya dibuat Decentralized Wastewater Treatment System (DEWATS) atau sistem pengolahan air limbah terdesentralisasi oleh sebuah rumah sakit di Solo. Limbah RS yang sudah diolah dalam sistem tersebut akan dimanfaatkan untuk penyiraman tanaman atau dibuang melalui saluran kota. Sehingga efek buruk limbah menjadi berkurang atau bahkan hilang.
Merawat lingkungan sama dengan menjaga masa depan anak-cucu kita. Sayangnya, isu lingkungan luput dari hingar bingar politik kita saat ini.