Sabtu, 12 November 2016

Belajar Integritas dari nenek penjual mainan

Siang tadi seorang nenek dengan sepeda kayuh 'bronjong' yang tersandar di pagar rumah orang nampak nunggu pembeli sambil sesekali memukul-mukul mainan dengan harapan menarik perhatian orang sekitarnya.  Dan saya pun tertarik untuk berhenti, dan berfikir, 'wah, lumayan buat oleh-oleh anak sekaligus mengenalkan kalo mainan seperti ini cukup berharga bagi bapaknya waktu kecil.
Saya menghampiri dan terjadi transaksi; 'pintenan niki bu?' Walaupun ada tulisannya Rp. 2000,- minimal sebagai basa-basi awal transaksi. 'ingkang alit kaleh ewu,  ageng tigang ewu'. Sambil milih-milih saya langsung putuskan beli, 'Njih,  ingkang alit mawon kalih' sambil mengulurkan uang kertas 5 ribuan. kemudian nenek itu mengambil tas kecil lusuh dari saku celana dan nampak agak kesulitan mencari kembalian seribu rupiah. Kemudian saya berinisiatif, 'pun mbah,  kersane' harapan saya kembalianya buat beliau, tapi beliau langsung menyahut 'mboten-mboten,  niki wonten kok mas' sambil mengeluarkan satu koin ribuan dan menyerahkan ke saya sambil berujar 'nuwun njih mas', 'njih sami-sami' balasku.
Lesson Learned:
Saya ngga' bisa membayangkan atau mengira-ira berapa pendapatan si nenek dari berjualan mainan tradisional semacam itu dengan mengayuh sepeda seharian, tentu tidak banyak.  Tapi, prinsip untuk tidak meminta belas kasihan nampak terlihat dari cara dia menolak kelebihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar