Senin, 12 Maret 2018

Senyum itu Kembali

Gadis kecil itu selalu risau ketika melepas kepergian ayahnya untuk melaut. Wajah itu semakin murung di saat langit menjadi gelap dan bergemuruh. Sang ayah selalu saja menenangkan dengan berkata "ayah akan kembali 10 hari lagi dan membawakanmu hadiah dari pulau sebrang sana", anak itu tampak belum rela dengan rayuan yang selalu begitu. 

Hari berikutnya selepas pulang sekolah, gadis kecil itu selalu mampir ke dermaga. Melihat lautan luas yang seperti tak bertepi. Wajah harap nampak sesekali walau masih menyisakan 9 hari lagi. Tentu yang diharap bukan oleh-olehnya, tapi sebungkus senyum dari seorang hitam tinggi kekar, ayahnya. 

Pagi berikutnya, dia sengaja bangun lebih pagi. Setelah selesai pekerjaan rumah, dia pamit ke ibunya untuk lebih awal menyambut pagi. Jalan ke sekolah itu masih agak basah karena embun semalam. Lagi-lagi dia ke dermaga dimana lambaian tangan sang ayah masih membekas dalam fatamorgana fajar. Dia nampak mencari kesibukan sebelum matahari lebih tinggi, mengumpulkan batu-batu kecil untuk dilempar kesana kemari. Pelajaran pertama yang diajarkan sang ayah di pantai bagi dia adalah melempar batu ke laut. Masih terngiang betul, usia dua tahun ayah mengajarinya cara melempar, menyemangati untuk keluarkan seluruh tenaga sambil memperagakan gaya yang benar dan selalu memberi tepuk tangan setiap kali lemparan mendarat di permukaan air. 

Hari berikutnya selalu begitu, selepas sekolah menyempatkan mampir dermaga sebentar. Belum banyak bekas kaki pada pasir menandakan memang tidak banyak aktivitas disana. Mulai hari ke tujuh memang cuaca nampak tidak bersahabat bagi nelayan. Dia hanya melihat puluhan kapal nelayan terikat di kiri dan kanan dermaga. Nelayan memilih untuk mencari aktivitas lain seperti berkebun, membuat anyaman, atau sekedar memperbaiki rumah. 

Hatinya semakin gusar disaat langit tiba-tiba pekat, suara gemuruh bak genderang perang dan angin semakin kencang mengayun-ngayunkan rambut tipisnya. Dia ditengah keyakinan bahwa ayahnya akan kembali membawa senyuman dan cemas dengan keadaan laut yang seperti ini. Tapi dia berhasil melewati hari-hari itu dengan suasana hati yang tidak menentu. 

Pagi itu adalah hari yang dijanjikan ayah akan pulang. Kebetulah hari minggu, jadi dia bisa menunggu di dermaga seharian. Habis subuh, raga kecil dan masih rapuh itu memaksakan diri untuk bangun, mengambil air dan sedikit membantu menyiapkan urusan harian rumah. Ibunya masih tertidur memeluk adiknya yang masih 2 tahun. Tidak biasanya, semalaman tadi adiknya rewel miskipun sehat-sehat saja. 

Nampak dia tidak mau didahului oleh fajar. Setelah selesai urusan rumah, gadis kecil itupun melangkah menjauh dari rumah yang tampak lampu bohlam kecil di teras tengah masih menyala. Langkah kakinya masih terdengar cukup keras di telinga karena memang suasana di kampung itu masih hening. Jalan menuju dermaga sangat becek sisa hujan lebat semalam. Laut cukup tenang dan semburat merah kekuningan sepertinya mulai tampak. Prediksinya hari ini cuaca cukup bersahabat untuk menyambut kepulangan sang ayah, dia masih setia dengan batu-batu kecil digenggaman tangan mungilnya. Sesekali batu itu dilempar ke beberapa penjuru dengan tenaga sedang. Tapi tetap saja tatapan matanya masih saja ke arah tengah laut yang 10 hari lalu menghapus pandangannya terhadap kapal sang ayah. 

Surya mulai meninggi, orang-orang berhamburan ke arah pantai. Para nelayan dan anak-anak sepertinya senang dengan cuaca hari ini. Mereka menampakkan raut gembira, tapi tidak untuk gadis kecil itu. Dahinya masih mengerenyit dan bebera kali menghela nafas. Matanya masih memandang ke arah yang sama, sesekali dia bangkit dari tempat duduk kayu, berjalan maju kemudian duduk kembali. Hari tampak mulai menyengat. Kulitnya yang sudah terlanjur hitam bersisik itu sama sekali tak menggubris. Dia terus saja menunggu di tempat yang hampir sama, hanya geser ke kanan dan ke kiri, sedikit ke depan dan ke belakang. 

Dia juga heran, kenapa anak-anak lain tidak begitu berharap pada kepulangan ayah mereka. Ataukah mereka yakin bahwa ayah-ayah mereka akan baik-baik saja. Tiba-tiba suara kecil melengking dari belakang memecah pikirannya, tampak anak laki-laki telanjang dada berlari ke arah dermaga sambil terus berteriak mengabarkan bahwa kapal yang 10 hari pergi sekarang telah kembali. Diapun larut dalam sorak sorai anak-anak yang menantikan para pejuang keluarga, pelaut tangguh dan ayah hebat mendarat. Kapal itu semakin dekat. Dia amati satu-satu senyum lelah para pelaut yang berjejer dipinggir dek kapal. Satupun belum ditemuinya wajah sang ayah, senyum riangnya mulai memudar digantikan wajah yang sama 7 hari yang lalu. Satu per satu pelaut itu turun,  kemudian menggandeng, memeluk dan menggendong anak-anak mereka. Gadis kecil itu masih mencari, menyibak di antara kerumunan, wajahnya mulai bingung dan gundah. Tiba-tiba, ada tangan kekar yang masih hangat mendekapnya dari belakang, mengangkatnya hingga ke dada dan memeluknya erat-erat. Sang ayah kembali denagn janjinya, dan tentu saja membawa senyum itu kembali ke pelupuk mata gadis kecil itu. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar